Mengenai Saya

Foto saya
kami adalah mahasiswa pendidikan sejarah.. mahasiswa yang selalu dicerca, yang hanya mempelajari masa yang telah berlalu... namun kami punya keyakinan semua ada ahlinya, dan kami adalah mahasiswa yang mempunyai sedikit kelebihan dalam mempelajari sejarah.

Selasa, 10 Maret 2009

PERMESTA: Pejuang atau Pecundang (?)

PROKLAMASI

DEMI keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesedjahteraan Rakjat Indonesia pada umumnja, dan Rakjat Daerah di Indonesia Bahagian Timur pada chususnya, maka dengan ini njatakan seluruh wilajah Territorium VII dalam keadaan darurat perang serta berlakunja pemerintahan militer sesuai dengan pasal 129 Undang-Undang Dasar Sementara dan Peraturan Pemerintah No.33 tahun 1948 dari Republik Indonesia.
Segala peralihan dan penjesuaianja dilakukan dalam waktu jang sesingkat-singkatnja dalam arti tidak ulangi lepaskan diri dari Republik Indonesia.
Semoga Tuhan Jang Maha Esa beserta kita dan menurunkan berkat hidajatNya atas Umatnja.


Makassar, 2 Maret 1957
Panglima Tentara&Teritorium VII
t.t.d.

Letk. H.N.V. SUMUAL
Nrp. 15958


Kedewasaan dan kebesaran suatu bangsa, kata orang arif, antara lain ditentukan oleh kemampuan bangsa itu memahami dirinya secara kritis dan keberaniannya mencari hal-hal yang bermakna dari masa lampaunya, termasuk tragedi-tragedi berdarah yang dialaminya. Lima puluh satu yang tahun yang lalu, tepatnya pukul tiga subuh, ketika banyak orang sedang tertelap memeluk mimpi, sebuah proklamasi dideklarasikan. Darurat perang. Staat van oorlog en beleg. Herman Nicholas Sumual atau akrab dipanggil Ventje, putra asli Remboken, sebuah desa kecil di pinggir Pantai Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Staf Tentara Teritorium (TT) VII, menuliskan bab yang penting dalam sejarah negeri leluhurnya: deklarasi Permesta, menuntut otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan penghapusan sifat sentralisasi dari pemerintahan politik nasional.
Bagaimana sebenarnya hubungan pusat dan daerah kala itu?; Mengapa deklarasi perjuangan yang dikumandangkan oleh Sumual 2 Maret 1957 tersebut berbuntut pada pemberontakan?; Benarkah “hanya” sekadar otonomi?
Tulisan di bawah ini sedikit banyak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut berangkat dari beberapa gejolak yang berbuah pada penyelenggaraan otonomi daerah dan otonomi khusus di tiga wilayah di Indonesia, yang kini mulai memanas kembali.

Kerangka Otonomi dalam Bingkai NKRI
Otonomi, dalam Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Di Indonesia, dipahami sebagai hak/kekuasaan/kewenangan untuk mengatur pemerintahan sendiri. Dalam perkembangannya, otonomi lebih banyak diartikan sebagai pemerintahan sendiri. Adapaun kewenangan dalam pemerintahan sendiri tersebut meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga peradilan dan kepolisian sendiri.
Seiring dengan perjalanan panjang bangsa, otonomi di Indonesia diterapkan secara menyeluruh pascaordebaru ditandai dengan Undang-Undang (UU) No.22/1999 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan daerah. Pemberlakuan undang-undang baru tersebut, dalam perkembangannya, juga melahirkan sistem pemerintahan yang hanya terdapat di daerah-daerah tertentu saja di Indonesia yakni sistem otonomi khusus atau desentralisasi asimetris. Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan tiga daerah di Indonesia yang memiliki kekhususan tersendiri dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Dalam UU No.44/1999, dijabarkan bahwa keistimewaan NAD meliputi empat bidang utama yakni penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan beradat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. –keempat hal tersebut merupakan hasil lobi pemerintah pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Hampir senada dengan NAD, dalam UU No.21/2001, pemberlakuan otonomi khusus lebih dikarenakan tindakan sepihak pemerintah pusat agar perlawanan rakyat Papua (baca: OPM-Organisasi Papua Merdeka) bisa berkurang. Adapun di DIY, otonomi khusus didasarkan atas ikatan emosional pemerintah pusat dengan Yogyakarta yang pernah menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia (RI).
Membaca kasus NAD dan Papua-dan bukan tidak mungkin DIY akan segera menyusul bila aturan suksesi dwi tunggal Hamengku Buwana dan Paku Alam serta undang-undang tentang keistimewaan tidak segera diselesaikan-, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya otonomi senantiasa diwarnai dengan gejolak daerah. Sejarah mencatat, gejolak daerah menuntut otonomi, khususnya otonomi khusus,-misal NAD dengan GAM; Papua dengan OPM; DIY dengan Ismaya- bukanlah hal yang baru dalam perjalanan panjang RI menjadi sebuah bangsa. Permesta, merupakan salah satu buah ketidakharmonisan pemerintahan pusat dengan daerah yang dideklarasikan guna menggugat jawasentris: sentralisasi dimana negara dipandang sebagai suatu rangkaian konsentris, berpusat di Jawa.

Pemberontakan Setengah Hati?
Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Setengah Hati (Harvey, 1989:1), mengungkapkan bahwa Permesta merupakan akronim dari Perjuangan Semesta Alam, nama suatu piagam yang dikeluarkan di Makassar tanggal 2 Maret 1957. Adapun salah satu tuntutannya adalah otonomi daerah.
Sumual, promotor gerakan tersebut, dalam sebuah wawancara dengan wartawan TEMPO, Setiyardi, menegaskan bahwa Permesta merupakan Piagam Perjuangan Semesta-sama sekali tidak berembel-embel “alam”.
Saya sudah membaca tulisan itu… Dia menyebut Permesta sebagai Perjuaangan Semesta Alam. Padahal, Permesta adalah Piagam Perjuangan Semesta, tanpa ada kata alam…

Permesta, menurut barbara Sillars Harvey, merupakan penciutan basis teritorial gerakan itu dari seluruh Indonesia Timur ke dalam wilayah yang secara kultural dan Religius serba sama yaitu Minahasa. Dalam Piagam Perjoangan Semesta Dalam Wilayah TT-VII Wirabuana , dikemukakan bahwa dalam bidang pemerintahan, tujuan Permesta adalah Otonomi luas dengan ketentuan sebagai berikut: bagi daerah surplus, 70% dari pendapatan daerah dan 30% untuk pemerintah pusat. Adapun bagi daerah minus, 100% pendapatan daerah utuk daerah dan ditambah subsidi dari pemerintah pusat untuk pembangunan vital selama 25 tahun.
Tuntutan Permesta tersebut, dilatarbelakangi oleh kemiskinan yang melilit rakyat Sulawesi Utara khususnya keluarga tentara. Padahal, di atas kertas, Sulawesi Utara adalah daerah kaya raya limpah kopra.
Semula, Panglima Indonesia Timur kala itu, Joop Warouw, mengizinkan praktek barter kopra untuk menyiasati kemiskinan yang melilit tentara. Sayangnya, Jakarta melarang praktek barter. Simak penuturan Sumual, berikut ini:
Pada tahun 1950, saya kembali ke Sulawesi setelah bertugas sebagai Kepala Staf Brigade VI di Yogyakarta... Di situlah saya akhirnya menemukan kondisi prajurit yang mengenaskan. Keluarga mereka tidur berhimpitan dalam bilik-bilik berdinding lembab. Sebuah ironi, ketika para suami keluar berbaris dengan seragam gagah, tapi anak istri duduk menunggu di tangsi, kurus pucat.
Situasi ini membuat saya, para perwira dan tokoh masyarakat di Sulawesi, menoleh ke Jakarta. Kami menyumbang pendapatan besar bagi negara dari hasil kopra, tapi sedikit yang kembali ke daerah... (Oleh karena itu) Joop Warouw... mengijinkan barter kopra... Hasilnya dipakai membangun barak prajurit yang dibawah standar kepanutan.
Sebaliknya, Jakarta melarang barter... Nasution malah menindak Warouw... Larangan barter itulah yang memantapkan keyakinan kami, otonomi seluas-luasnya harus diwujudkan .

Lebih lanjut, Sumual menyatakan menyatakan sebagai berikut:
Permesta bukan pemberontakan, melainkan sebuah deklarasi politik. Isinya seperti yang diperjuangkan gerakan reformasi sekarang ini. Dulu, gerakan reformasi kami sebut sebagai Permesta.

Permesta, menurut Sumual, lebih merupakan kritik terhadap terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku kala itu: Undang-Undang Sementara 1950. UU tersebut secara tegas mengatur otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah dan hak asasi manusia. Akan tetapi, hal tersebut tidak pernah dilaksanakan. Sumual juga secara tegas menolak pernyataan bahwa Permesta lahir bukan disebabkan oleh kepincangan ekonomi pusat-daerah.
Itu hanya soal manajemen... Untuk meluruskan soal otonomi dan manajen ekonomi, apa perlunya memberontak?
Dari pernyataan-pernyataan Sumual dalam paragraf-paragraf di atas dapat disimpulkan bahwa pada awalnya Permesta jauh dari pemberontakan. Lalu bagaimana label pemberontak melekat kuat pada Permesta hingga saat ini? Pertanyaan Menarik. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, simak kronologi di bawah ini.
Petengahan September 1957, Soekarno dan Kabinet Perdana Menteri Djuanda menggelar Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta. Di atas kertas, acara tersebut merupakan tawaran kompromi pemerintah pusat atas tuntutan daerah. Permesta, dalam acara tersebut, mengajukan enam pasal tuntutan diantaranya pemulihan kembali dwi tunggal Soekarno Hatta, Penggantian pimpinan TNI AD (terutama Nasution), desentralisasi dengan otonomi seluas-luasnya bagi daerah, pembentukan senat, penyederhanaan aparatur negara, dan pelarangan komunisme. Sayangnya, usul tersebut jauh panggang dari api. Pemerintah pusat hanya mengagendakan tiga masalah yakni pemulihan kembali dwi tunggal, pelaksanaan pembangunan nasional, dan perubahan pimpinan Angkatan Darat. Soal komunis, dalam acara tersebut, sama sekali tidak dibahas sementara para perwira yang bermasalah pun tidak diundang.
Adapun urusan keretakan pimpinan Angkatan Darat dibahas oleh tujuh tim yang dikatuai oleh Soekarno sendiri. Anggotanya enam orang: Hatta, Djuanda, Leimena, Sultan Hamengku Buwono IX, Aziz Saleh, dan Nasution. Keanggotaan Nasution dalam tim tersebut tentu menuai protes dari peserta Munas. Sumual menuturkan sebagai berikut:
Kami bilang, nasution itu terlibat masalah, kenapa masuk. Dalam rapat terjadi perdebatan sengit antara Nasution dan saya tentang legalitas dan disiplin militer, hingga akhirnya saya menggebrak meja dan keluar ruangan...
Peristiwa Cikini tanggal 30 November 1957 meluluhlantakkan kesepakatan Munas. Soekarno yang selamat dari usaha percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh oknum tertentu (banyak pihak menyebut percobaan pembunuhan tersebut dilakukan oleh oknum PKI) terhadap dirinya, ketika menjemput anak-anaknya di Perguruan Cikini, seketika berang, dalam hal ini Kolonel Zulfiki, ahli intelejen, dituding sebagai pelakunya. Akibatnya, oleh Soekarno melalui Wakil Perdana Menteri Leimena mengumumkan bahwa segala keputusan Munas dibekukan. Menyusul ultimatum tersebut, Manado dan Ambon dihujani oleh bom oleh pemerintah. Naluriah, Permesta seolah banteng ketaton menghadapi serangan tersebut.
Terkait hal di atas, Barbara Sillars Harvey pun pada sebuah kesimpulan bahwa Pemberontakan Permesta merupakan pemberontakan setengah-setengah atau pemberontakan setengah hati. Kesimpulan tersebut diambil karena pada mulanya sungguh tidak terlintas sedikitpun dalam benak tokoh-tokoh Permesta untuk melakukan pemberontakan atau memisahkan diri dari RI, tempat kelahiran mereka sendiri juga tempat yang mereka perjuangkan dalam revolusi fisik. Gerakan tersebut, menurut Harvey, murni semacam gertakan terhadap Jakarta supaya memperbaiki pola kebijaksanaan politiknya sehingga lebih mencerminkan aspirasi atau kepentingan daerah-daerah di luar Jawa.
Akhir Gertak Sambal
Sebagaimana telah diungkapkan dalam paragraf-paragraf di atas, pasca Peristiwa Cikini, Soekarno yang tadinya bak seorang bapak yang sabar mendengarkan celoteh si anak hilang; Permesta, seketika berubah menjadi dongkol dan keras. Joseph Frans Natanael Ngangi dalam Pemberontakan Permesta bagian 2 mengungkapkan kedongdolan Soekarno; sudah lama Minahasa menjadi duri di mataku. Seketika itu, Soekarno juga langsung memerintahkan ABRI segera melakukan operasi penumpasan terhadap gerakan Permesta di Minahasa, diawali dengan konsentrasi pasukan di Ambon dan Makassar tanggal 23 Februari 1958, disusul Palu, Gorontalo, dan Morotai.
Bom yang dijatuhkan di Ambon dan Makassar, memaksa Permesta tidak lagi bertahan. Kedatangan Mayor Jenderal Alex Kawilarang pun seolah menyuntikkan semangat baru bagi perjuangan Permesta. Logistik senjata tentu menjadi masalah pokok bagi Permesta yang tidak mengira akan dibasmi oleh pemerintah. Terkait dengan hal ini, Sumual pun mengadakan perburuan senjata ke Taiwan, Manila, Swis, dan Singapura. Usaha tersebut tidak sia-sia. Bermoal uang US$ 4 juta hasil ekspor kopra, sebuah panser, dua kargo senjata termasuk anti craft dan dua pesawat pengebom B-26 beserta teknisinya berhasil diboyong ke Manado. Suatu kejutan bagi Sumual, ia samasekali tidak ditarik biaya sepeserpun. Dengan logistik sebanyak itu, lahir rencana menyerang Jakarta. Penyerangan itu mereka namakan Operasi Jakarta Spesial.
Sasaran pertama penyerangan adalah Pulau Marotai di Maluku Utara. Pulau ini memiliki lapangan udara dengan landasan panjang untuk pesawat B-26 dan pernah dipakai untuk Perang Dunia II. Sasaran berikutnya Balikpapan dan Kilangminyak Jakarta.
Jakarta, sebagaimana dituturkan oleh Sumual dalam TEMPO, merupakan titik kunci perjuangan.
. Jakarta adalah titik kunci. Setelah menguasai Banjarmasin, sebetulnya mudah saja menguasai Jakarta. Yang dibutuhkan adalah Lapangan Terbang Kemayoran. Disitu, tinggal mengebom kilang minyak di Tanjungpriok. Kalau kilang minyak sudah di bom, Jakarta dan Bandung akan lumpuh

Aksi pengeboman dilakukan oleh Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) yang dibentuk April 1958. Pemimpinnya adalah Petit Muharto, bekas Atase Militer RI di Filipina dan bekas Komandan Pangkalan AURI di Manado. Pada mulanya, seluruh rencana Permesta hampir menekati keberhasilan. Hal itu ditunjukkan dengan kemenangan beruntun yang diperoleh di berbagai titik pertempuran. AUREV berhasil mengebom lapangan terbang Mandai (sekarang Bandara Hasanuddin), Pelabuhan Donggala, Balik Papan, Ambon, dan Ternate. Satu Korvet TNI Angkatan Laut juga dibom hingga tenggela. Jatuhnya pesawat terbang yang dimudikan oleh Allen Poppe, penerbang asal Amerika Serikat membalikkan takdir Permesta yang sudah setengah langkah. Amerika Serikat yang mulanya mendukung Permesta seketika angkat kaki begitu saja. Permesta limbung. Kalah. Pentolan-pentolan Permesta pun satu per satu dipaksa angkat tangan. Data yang dihimpun oleh Sinar Harapan menyebutkan bahwa Permesta, secara keseluruhan, memakan korban 10.150 orang dari pihak RI (2.499 prajurit, 956 anggota hansip, 274 polisi, dan 5.592 penduduk sipil sedangkan di pihak Permesta, sebanyak 22.174 tewas.
Sekitar Oktober 1961, Nasution mengadakan apel penyerahan diri bagi anggota-anggota Permesta. Apel tersebut juga disaksikan oleh Ahmad Yani. Sekitar 50 ribu anggota Permesta sudah menyerah kala itu, kecuali Sumual. Promotor Peremsta yang masih hidup sampai sekarang tersebut baru menyerahkan diri setelah Sjafruddin Prawiranegara dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), jawat Permesta, mengeluarkan surat tanda kekalahan PRRI.
Pasca apel penyerahan tersebut, seluruh anggota Permesta masuk karantina di tempat yang terpisah: Cipayung, Malang, dan Blora. Hanya ada satu anggota yang namanya kemudian direhabilitasi oleh Soekarno: A.E. Kawilarang. Terkait hal ini, Sumual, dalam Tempo, angkat bicara.
Bung Karno seperti tidak peduli kepada kami. “revolusi belum selesai dan tuan-tuan ini adalah penghalang roda revolusi” kata bung Karno kepada kami. Dan kami kemudian ditahan tanpa proses pengadilan. ini keseenang-wenangan.

Antara tahun 1963 dan 1966, kesemua anggota Permesta dijadikan satu bersama dengan PKI di tahanan militer Setia Budi.
... Angkatan Darat merasa tidak sanggup bila harus mengawasi kami... Kami harus satu tahanan dengan PKI... Iron.

Keseluruhan anggota Permesta baru dibebaskan setelah Soeharto berkuasa. Sumual, promotor Permesta, kemudian “dimintai tolong” untuk menggolkan program ASEAN di Bangkok. Dari tentara, anggota-anggota Permesta kemudian banting stir menjadi usahawan. Uniknya, susunan personalianya sama persis dengan susunan struktur Permesta. Sumual didudukkan sebagai presiden direktur perusahaan.
Permesta boleh jadi hanya kerikil atau duri kecil yang mengoyak perjalanan bangsa. Akan tetapi, bukan tidak mungkin, duri-duri kecil tersebut akan tumbuh menjadi ladang onak, lebih-lebih ketika pemerintah pusat hanya memandang sebelah mata terhadap aspirasi daerah dan menerapkan tebang pilih dalam menegakkan legalitas pemerintahan. GAM, OPM, RMS, dan (bisa jadi) Ismaya kiranya sudah menjadi pelajaran tersendiri bagi pemerintah agar kasus Timor Timur tidak kembali terulang. Semoga.
(GA)

2 komentar:

  1. Nice..
    thank you bro, buat informasinya..
    Gw bangga jdi putra minahasa..

    BalasHapus
  2. tidak di bahas mengenai agenda anti komunis? setau saya salah satu poin perlawanan permesta adalah karna Bung Karno di indikasi mulai bersahabat dengan Russia (Komunis). Itulah alasan Amerika memberikan bantuan, karena presiden Eisenhower kala itu memiliki program "membantu kelompok apapun yang melawan komunis". Suara permesta tersebut tidak dipedulikan sampai terjadinya pemberontakan 30 september..
    ini setau saya sih. hehe

    BalasHapus