Mengenai Saya

Foto saya
kami adalah mahasiswa pendidikan sejarah.. mahasiswa yang selalu dicerca, yang hanya mempelajari masa yang telah berlalu... namun kami punya keyakinan semua ada ahlinya, dan kami adalah mahasiswa yang mempunyai sedikit kelebihan dalam mempelajari sejarah.

Selasa, 10 Maret 2009

Otonomi dan Keistimewaan Yogyakarta

Selanjutnya setelah saya pertimbangkan secara mendalam dengan laku spiritual memohon petunjuk-Nya, maka saya harus mengambil ketegasan spiritual yang saya tuangkan dalam sebuah pernyataan sejarah sebagai berikut: pertama dengan tulus ikhlas saya menyatakan tidak bersedia lagi menjabat sebagai gubernur/kepala daerah propinsi DIY pada purna jabatan 2003-2008; kedua, selanjutnya saya titipkan masyarakat DIY kepada gubernur/kepala daerah proponsi DIY yang akan datang…

Lunak namun sangat menyakitkan. Boleh jadi, itulah gambaran yang paling tepat untuk mengilustrasikan pernyataan sikap Hamengku Buwana X yang dilontarkan tepat di hari ulang tahunnya ke-61, 7 April 2007. Pun tidak? Ditengah maraknya pemilihan otonomi daerah yang salah satunya ditandai dengan pemilihan kepala daerah langsung, pernyataan sultan yang disampaikan dalam acara bertajuk Orasi Budaya tersebut seolah tamparan kepada pemerintah pusat yang hendak menegaskan betapa seriusnya masalah yang membelit Yogyakarta.
Berkaca pada sejarah, pro kontra yang kemudian muncul dibalik pernyataan HB X tersebut sesungguhnya bukan fenomena baru dalam sejarah Yogyakarta sebagai salah satu wilayah desentralisasi asimetris di Indonesia. Jauh sebelumnya, kekaburan terkait dengan status tersebut terlihat dengan status HB IX sebagai menteri nasional sekaligus wakil presiden 1977-1982. Pergolakan semakin meruncing dengan meninggalnya HB IX (1988) dan PA VIII (1998) . Peristiwa ini terulang kembali ketika masa jabatan HB X berakhir tahun 2003.
Terlepas dari berbagai spekulasi yang diantaranya berhembus luas bahwa penolakan sultan tersebut terkait dengan obsesi sultan untuk semakin ambyur dalam pentas nasional, sebagai presiden periode 2009-2014, tanpa bermaksud mengikuti arus, tema ini bermaksud untuk membuka wacana, menggali kekritisan serta ketanggapan akan salah satu permasalah yang melilit negeri ini: implementasi otonomi daerah dan otonomi khusus.

Hubungan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah
Pada dasarnya, hubungan antara pusat dan daerah telah tergaris secara tegas pada masa pemerintahan Daendels yang ditandai dengan pemberlakuan sistem pemerintahan daerah Perancis yang sentralitis . Dengan sistem ini, Jawa yang terdiri dari sembilan geswest dikepalai oleh perfect. Selain itu, demi mengikat kedudukan para bupati, Daendels menurunkan derajat bupati menjadi pegawai negeri tanpa gaji. Sebagai ganti, mereka diberi wewenang untuk mengadakan pungutan-pungutan sebesar 10% dari usaha para petani. Adapun tugas para bupati yang secar struktur berada di bawah perfect ialah memungut pajak dari rakyat yang besarnya ditetapkan 20% dari hasil panen daerahnya.
Memasuki pemerintahan Raffles, sistem sentralitis ala perancis yang diterapkan oleh Daendels sedikit mengalami perombakan. Dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, Raffles jauh lebih memperhatikan rakyat. Terkait hal ini, kekuasaan feodal dikurangi dan birokarasi pusat dan daerah mulai diperlangsing.
Seiring dengan berkembangnya politik balas budi yang diusung oleh Van Deventer yang pada pokoknya menghendaki agar pemerintah meringankan beban rakyat, mengembangkan dan meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan rakyat, dan pemerintahan disusun dengan lebih modern serta demokratis, tidak semata-mata mengeruk kekayaan dari daerah jajahan, pada tahun 1903 dikeluarkan undang-undang Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nedherlandsch Indie, yang lebih terkenal dengan singkatan Decentralisatie Wet 1903, berisi tentang pemberian kesempatan untuk membentuk daerah-daerah otonom. Sebagai realisasi lanjut, pada tahun 1905, Pemerintah mengeluarkan Desentralisatie Besluit 1905 dan Locale Radenordonnantie. Desentralisatie Besluit 1905 merupakan ketentuan yang berisi tentang pokok-pokok pembentukan, susunan, kedudukan dan wewenang dewan dalam mengelola keungan yang terpisah dari pusat. Adapun Locale Radenordonnantie merupakan aturan pelaksanaan yang menetukan struktur, status, kewenangan, dan pembentukan berbagai dewan.
Demi meningkatkan partisipasi pribumi dalam pemerintahan, pada tahun 1918, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ontvoogdings Ordonantie (Ordonansi Pembebasan Perwalian) yang memberi kewenangan kepada gubernur jenderal untuk menunjuk daerah-daerah manasaja yang dapat diontvoogdings. Sebagai tindak lanjut, pada tahun 1922, pemerintah Hindia Belanda menetapkan Bestuurhermovings Ordonnantie (stb 1922/216). Esensi dari ordonansi ini ialah perubahan dari susunan aparat dekonsentrasi serta pembaharuan dan reorganisasi badan-badan hukum publik yang berdiri sendiri (zelfstandige publiek rechteli jke lichamen).
Berdasarkan Bestuurhermovings Ordonnantie tersebut, lahirlah Provincie Ordonnantie yang membagi pulau Jawa menjadi tiga bagian. Berbeda dengan di Jawa, di luar Jawa tidak dibentuk wilayah otonom melainkan wilayah administratif. Adapun demi menghargai harkat dan derajat sultan dan sunan, pemerintah Hindia Belanda mengangkat seorang gubernur yang mengepalai propinsi ke-4 yang kemudian dibentuk di Jawa yakni propinsi administratif yang wilayahnya mencakup Surakarta dan Yogyakarta. Oleh Belanda, wilayah ini disebut dengan Zelfbesturrende Lanschappen. Di masa Jepang, wilayah ini disebut dengan Tokubetsu Si (daerah istimewa).

Yogyakarta dan Desentralisasi Asimetris
Dari paragraf di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya, otonomi darah bukanlah hal baru dalam sejarah tatanegara RI. Dalam perkembangannya, seiring dengan perputaran roda pemerintahan berdasar UU No 22/99, dikenal dengan adanya otonomi khusus. Secara keseluruhan, hanya ada tiga propinsi di Indonesia yang mendapat status ini. Ketiga propinsi ini ialah Papua yang ditetapkan dengan UU No 21 tahun 2001, Nanggroe aceh Darussalan (NAD) dengan UU No 11 tahun 2006, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berbeda dengan propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua , status Yogyakarta didasarkan lebih kepada nilai-nilai historis antara kota Yogyakarta dengan pemerintah Republik Indonesia (RI). Kedekatan emosional dikarenakan pada pasca proklamasi kemerdekaan RI 1945, kesultanan Yogyakarta menyerahkan kedaulatnnya secara penuh dan berintegrasi ke dalam NKRI. Peristiwa ini diperkuat dengan Dekrit kerajaan Yogyakarta yang diikeluarkan Oleh Hamengku Buwana IX Dan Paku Alam VIII. yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Sebagai tindak lanjut, pada tanggal 30 Oktober, kedua pimpinan kerajaan yang terbentuk oleh perjanjian Giyanti tersebut mengeluarkan kembali dekrit yang dikenal dengan amanat 30 Oktober 1945. Isinya, menyerahkan kekuasaan legislatif kepada BP KNI Daerah Yogyakarta sebagai manisfetasi negara RI .
Dua dekrit yang dikeluarkan oleh HB IX dan PA VIII tersebut menunjukkan bahwa bahwa ada penandatanganan kesepakatan antara penguasa Yogyakarta dengan ketua BP KNI Yogyakarta yang bisa dikatakan sebagai simbol persetujuan rakyat. Pun dengan adanya kedua amanat tersebut, hubungan antara HB IX dan PA VIII sebagai penguasa tertinggi Yogyakarta dengan pemerintah pusat bersifat langsung. Selain itu, kedua pemimpin tersebut juga diharuskan bertanggungjawab kepada presiden. Dari sini muncul fenomena menarik bahwa Yogyakarta merupakan daerah kasultanan monarki konstitusional yang terbingkai dalam NKRI. Namun demikian, yang kemudian menjadi dilema diakhir-akhir masa jabatan HB X adalah implikasi ketidakjelasan peraturan tentang posisi keduanya, baik HB maupun PA. Lebih lagi adalah kenyataan bahwa HB X tidak memiliki putera mahkota sebagai pewaris kerajaan dan kepala ekskutif di pemerintahan DIY nantinya.

Ruwet
Tarik ulur terkait status keistiwaan Yogyakarta sebenarnya sudah berlangsung sangat lama, bahkan sudah mencuat ketika republik baru seumur jagung. Hal ini terlihat dari penolakan keras HB IX atas pemberlakuan UU No. 17 tahun 1947 yang mnyebutkan bahwa Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah pusat. Sebagai penyelesaian, tanggal 22 Juli 1947, Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi walikota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus: presiden, HB IX, dan Mendagri menggantikan Mr Enoach yang turut mengungsi mendampingi sultan.
Pada tahun 1948, Pemerintah pusat mengeluarkan UU No 22/48 tentang UU pokok pemerintahan daerah. Dalam UU ini, diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta baik dalam diktum maupun penjelasannya. Sayangnya, pemerintah pusat tidak sempat mengeluarkan UU tentang pemerintahan daerah dikarenakan Agresi II Belanda yang terlanjur menghajar lebih dulu. Sebagai bentuk protes kepada Belanda, HB IX dan PA VIII pun meletakkan jabatan sebagai kepala daerah istimewa. Pasca serangan umum, Yogyakarta dijadikan sebgai daerah militer dengan PA VIII sebagai gubernur militer.
DIY secara formal terbentuk dengan UU No 3/1950. Dalam UU ini disebutkan secara tegas bahwa Yogyakarta merupakan daerah istimewa setingkat propinsi bukan sebuah propinsi. Meskipun demikian, DIY bukan monarki konstitusional. Adapun status keistimewaan, secara lebih lanjut, diatur dalam UU No 1/1957 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Secara garis besar, UU ini tidak jauh beda dengan UU sebelumnya 9UU No 22/1948). Hanya saja, dengan pemberlakuan UU ini, terjadi benturan masalah antara pamongpraja dengan dewan pemerintahan daerah yang hendak menghapus keberadaan pamongpraja.
Tanggal 1 September 1965, pemerintah mengeluarkan UU No.18 tahun 1965 tentang pemerintahan derah. Dalam UU ini, Yogyakarta ijadikan sebagai sebuah propinsi. Seiring denganpengangkatan HB IX sebagai wakil presiden Indesia tahun 1978, status Yogyakarta diatur dengan UU No. 5 tahun 1974. Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan ialah kepala daerah istimewa dan wakil kepala daerah istimewa, beberapa urusan agraria, dan beberapa pegawai pemda yang merangkap sebagai abdi dalem karajan. Melihat keistimewaan DIY yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982 mengeluarkan keputusan yang isinya bahwa sifat dan keistimewaan DIY perlu dilestarikan sampai masa mendatang sesuai dengan UUD1945 dan UU No.3/1950.
Terkait dengan suksesi yang terjadi sepeninggalan HB IX dan PA VIII, pada tahun 2000, MPR melakukan amandemen terkait dengan status daerah istimewa . Gonjang-ganjing terkait dengan keistimewaan Yogyakarta, dalam perkembangannya, melahirkan sebuah paguyuban bernama Ing Sedya Memetri Asline Yogyakarta (Ismaya), tanggal 2 November 2000. Paguyuban ini pada awalnya, beranggotakan aparat desa se Yogyakarta yang menolak mengenakan lencana korpri dan memilih menjadi abdi dalem sultan. (Galuh Ambar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar