Mengenai Saya

Foto saya
kami adalah mahasiswa pendidikan sejarah.. mahasiswa yang selalu dicerca, yang hanya mempelajari masa yang telah berlalu... namun kami punya keyakinan semua ada ahlinya, dan kami adalah mahasiswa yang mempunyai sedikit kelebihan dalam mempelajari sejarah.

Selasa, 10 Maret 2009

KRISIS POLITIK ERA 1930-AN DI SUMATERA BARAT

Dipungkiri maupun tidak, sejarah pergerakan nasional Indonesia merupakan sejarah-nya para elite terpelajar di pulau Jawa. Tidak banyak buku maupun karangan yang membahas mengenai pergerakan perjuangan mencapai Indonesia merdeka yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Jawa dan kawasan lain di Nusantara, di luar pulau Jawa. Kenyataan ini semakin diperkuat oleh John Ingelson, pakar sejarah Indonesia, dalam bukunya Road to Exile: The Indonesin Nationalist Movement 1927-1934 (1979:230).
gerakan nasionalis pada hakikatnya adalah gerakan Jawa, produk para elite pendidikan Barat yang apapun suku bangsanya, meniti karir di Batavia atau kota-kota besar di Jawa.

Baru pada tahun 1982, pendapat mengenai dominasi Jawa dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia berhasil terpatahkan oleh Audrey R. Kahin. Melalui Repression and Regroupment: Religious and Nationalist Organization in West Sumatera in the 1930an, Kahin banyak menyinggung peristiwa-peristiwa yang terjadi di Sumatera Barat selama dua dasawarsa menjelang Perang Dunia II, yang selama 37 tahun -dihitung dari proklamasi kemerdekaan Indonesia- luput dari perhatian pakar sejarah. Tulisan di bawah ini selain merepresentasikan tulisan Kahin sekaligus sebagai usaha pemahaman mengenai pengaruh gerakan 1927 yang dilakukan PKI (Partai Komunis Indonesia) Sumatera Barat, khususnya, terhadap aktivitas politik lokal pasca penumpasan gerakan tersebut.
Awal 1920an merupakan periode pergolakan di seluruh Hindia Belanda. Harapan yang tumbuh semasa Perang Dunia I bahwa Belanda akan mulai memberi peran kepada orang-orang Indonesia untuk mengatur diri sendiri, ternyata mengecewakan. Pengaruh cita-cita komunis dan sosialis telah memicu berbagai pemogokan dan konflik politik yang membuat Belanda semakin represif. Pergolakan dirasakan di seluruh Hindia Belanda, tidak terkecuali Sumatera Barat.
Penindasan Belanda terhadap semua gerakan politik setelah peristiwa pergolakan komunis 1927 sama beratnya baik terhadap para aktivis dan organisasi yang tidak ambil bagian dalam usaha pergolakan tersebut maupun terhadap anggota-anggota PKI yang bergolak. Namun demikian, meskipun ditindas, perlawanan terhadap kebijakan Belanda segera tumbuh sehingga pada tahun 1932 Sumatera Barat kembali dinyatakan sebagai kawasan rawan dimana para pemuka agama memegang kendali sepenuhnya atas aktivitas politik antipemerintah. Oleh karena itu, dalam perkembangannya, sikap organisasi-organisasi politik keagamaan pun, oleh pemerintah Belanda, disejajarkan dengan sikap orang-orang komunis menjelang pecahnya pergolakan 1927. Terkait dengan hal ini, A.I. Split, residen Belanda yang kemudian menjabat sebagai gubernur Sumatera Barat, urun pendapat.
Characteristic of the mentality of the Minangkabauer is the fact that by the blood lesson provided by the suppression of the disturbances at the beginning of 1927 seemed already to have been forgotten, that dcould not yet be, but the large majority had not drawn the correct lesson from them. The ideal of freedom put forward by reckless popular leader still seemed possess such a grat attraction that the people let themselves be pushed on the road that could lead to repetition of the occurrences of 1927.

Represi
Setelah peristiwa penangkapan dan penumpasan besar-besaran di tahun 1927, sebagian besar rakyat Sumatera Barat mengalami intimidasi dan tidak mau lagi melakukan kegiatan-kegiatan politik yang sekiranya berseberangan dengan keinginan penguasa. Namun, pada akhirnya, pihak Belanda sendiri yang menyebabkan bangkitnya kembali perlawanan politik di kawasan ini, yang secara tidak sadar telah meningkatkan aliansi antara pelajar perguruan agama dengan guru-guru alim ulama yang kesetiaan politik masing-masing mereka telah terpecah pada awal dan pertengahan tahun 1920-an.
Belanda secara tidak langsung memperkuat aliansi tersebut karena upaya-upaya mereka pada tahun 1928 dan 1932 untuk menguasai pendidikan dan mengendalikan sekolah-sekolah agama dan swasta pada umumnya. Ordonansi guru yang tidak memperbolehkan para ulama mengajarkan Islam tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari pemerintah, ditentang oleh alim ulama Minangkabau. Mereka memiliki keyakinan apabila ordonansi tersebut diberlakukan, ma kemerdekaan menyiarkan agama, bertabligh, mengaji, berpondok, atau urusan apa saj aynag menyangkut agama, akan hilang dengan sendirinya.
Menyadari akan persoalan yang sensitif tersebut, pejabat-pejabat lokal pemerintahah kolonial melakukan pendekatan dengan beberapa ulama terkemuka untuk menjelaskan maksud pemberlakuan ordonansi tesebut. Sayang, usaha Belanda itupun mengalami kegagalan. Dimotori oleh H. Abd. Karim Amrullah (H. Rasul), Muhammadiyah dan kelompok-kelompok Islam lainnya berjuang menentang pemberlakuan ordonansi tersebut di wilayah Sumatera Barat.
Pihak pertama yang paling mendapat keuntungan dari terbentuknya aliansi politik menentang upaya ordonansi guru pada tahun 1927 adalah cabang Muhammadiyah di Sumatera Barat. Haji Rasul, dibantu menantunya, A.R.St. Mansur, mendirikan organisasi tersebut pada tahun 1925, setelah terdepak dari perguruan Sumatera Thawalib Padang Panjang.
Muhammdiyah Sumatera Barat mencapai ketenaran pada tahun 1928. sebagaimana telah disinggung dalam dua paragaraf sebelumnya, pada akhir tahun 1927, Muhammdiyah mempelopori penentangan terhadap ordonansi guru. Selain itu, dalam waktu yang hampir bersamaan, keberhasilan Muhammadiya tersebut mendorong keberanian anggota yang muda-muda mendirikan organisasi yang lebih leluasa.
Ketika St. Mansur-yang baru ditunjuk menjadi menjadi ketua perwakilan Muhammadiyah di Sumatera Barat- mecopot sebagian anggota-anggota militan, sebagian dari anggota militan tersebut meninggalkan Muhammdiyah dan ikut membentuk Persatuan Sumatera Thawalib pada tahun 1928. Tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan sistem perguruan Islam, organisasi ini juga bertujuan untuk mengorganisir kegiatan-kegiatan dalam bidang politiik, ekonomi, dan sosial. Pada Konferensinya yang ketiga, Mei 1930, Persatuan Sumatera Thawalib mengubah dirinya menjadi Persatuan Muslim Indonesia-awalnya disingkat PMI kemudian menjadi Permi-yang dalam waktu singkat menjadi partai politik yang terkuat dan paling berpengaruh di Sumatera Barat serta merupakan partai politik yang paling mewakili karakter politik kawasan Sumatera Barat pada periode akhir penjajahan Belanda. Hal ini dapat dimaklumi. Berbeda dengan organisasi nasionalis lainnya, Permi berlandaskan atas dua asas yakni Islam dan nasionalis.
Sejak didirikan pada tahu 1930 Permi menarik minat aktivis politik di Sumatera Barat dari berbagai kalangan. Partai inipun berkembang pesat. Pada tahun 1932 anggotanya sudah mencapai 10.000 anggota dengan 160 cabang yang tersebar tidak hanya di Sumatera Barat semata tetapi juga hingga Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Timur, dan Tapanuli. Permi banyak diminati para aktivis terutama karena partai ini berani mengawinkan agama dan politik dalam platfromnya. Para pemimpin parai satu suara dengan partai-partai nasionalis Indonesia lainnya dalam menggelorakan semangat swadesi, falsafah pergerakannasional India. Akan tetapi, dalam perkembangannnya, Permi menolak mengikuti sepenuhnya jejak gerakana nasionalis India yang sepenuhnya berlandaskan asas sekuler. Menurut Permi, sumber perpecahan utama India adalah ketegangan antara umat Islam dengan umat Hindhu sehingga landasan sekuler memang sangat dibutuhkan dalam gerakan nasionalis India agar dukungan dari kedua pihak bisa diperoleh. Hal itu sangat berbeda kondisinya dengan di Indonesia. 90% persen penduduk Indonesia adalah Islam, dengan demikian, keseragaman agama merupkan faktor yang kuat guna mempersatukan rakyat Indomesia dalam perjuangan nasionalis. Menurut Permi, dalam platformnya, jika takut menjadikan Islam sebagai landasan gerakan nasionalis, sama artinya dengan macan takut masuk hutan atau air takut mengalir ke laut.
Dalam kancah pergerakan nasional, Permi berlandas pada dua pilar utama yakni Islam dan nasionalis. Berkat kedua asas tersebut, Permi mendapat sejumlah pengagum di Jawa. Sukarno bersama Partindo-nya merupakan salah satu contohnya. Melalui Abdullah Bssa Bandaro, Partindo-Permi menjalin hubungan yang mesra yakni kedua partai sepakat untuk tidak bersaing di daerah yang telah dikuasai masing-masing, dan Partindo pun tidak akan membuka cabang di Sumatera Barat.
Kaum perempuan tampil sebagai angota Permi yag paling vokal dan paling berpengaruh. Rasuna Said adalah salah satu contohnya. Dia merupaka seorang oratot yang berani dan terus terang dalam sebuah rapat umum ynag diselenggarakan Permi untuk menentang pemberlakuan ordonansi sekolah liar, dia menyerukan secara terbuka tuntuta kemerdekaan:
...tujuan kita semua satu: membuka jalan untuk meraih hak kita yaitu Indonesia merdeka yang bebas dari kekuasaan bangsa asing.

Karena piadatonyanya tersebu, Rasuna Said dijatuhi hukuman lima belas bulan penjara. Tidak lama kemudian, Rasima Ismail, teman seperjuangannyapun mendekam di penjara yang sama karena pidatonya dalam sebuah rapat.
Para pemimpin Permi lalu mendorong cabang-cabang Permi untuk bekerja sama dengan cabang partai radikal lainnya di Sumatera Barat yakni PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia). seperti halnya Muhammdiyah pimpinan H. Rasul, PSII Sumatera Barat berbeda dengan organisasi induk di Jawa. Organisasi yang didirikan oleh Dt. Singo Mangkuto dan H. Udin Rahmani pada tahun 1928 tersebut memiliki satu perbedaan yang mendasar dengan Permi. Perbedaan itu ialah bahwa PSII cenderung bangga dengan sejarah PSII yang meliputi seluruh Hindia Belanda. Hal lainnya yang membedakan PSII dengan Permi ialah bahwa dukungan terbesar PSII berasal dari kaum adat.meskipun jumlah anggotanya tidak lebih dari 3000 anggota, karena lebih militan daripada PSII induk, Dt. Singo Mangkuto mengajukan otonomi yang luas. Akan tetapi, pimpinan pusat, PSII Jawa, menolak dengan tegas permitaan tersebut dan langsung membatalkan semua keputusan yang telah dibuat dalam kongres-kongres kecil di Sumatera Barat. Ketegangan antara induk partai dengan cabangnya tersebut pun tidak hanya karena perbedaan pandangan mengenai kegiatan antikolonial semata namun juga mengenai hubungan mesra PSII dengan para tetua adat atau nagari. Secara tegas pula, para tokoh PSII pusat menunjukkan sikap antiadat terutama yang terkait dengan adat patrileneal yang berkebang di Sumatera Barat.
Sejalan dengan Permi dan Muhammdiyah, Perti (Persatuan Tarbiah Islam), di tahun-tahun awal berdirinya hadir sebagai sebagai salah satu asosiasi pendidikan di Sumatera Barat. Akan tetapi, seiring dengan kuatnya arus kemerdekaan di Indonesia, pada tahun 1932, organisasi yang bernapaskan adat istiadat Minangkabau tersebut mengubah diri menjadi PII (Pendidikan Islam Indonesia), dan kembali lagi pada nama awal, Perti, pada bulan Februari 1938. Perti merupakan organisasi konservatif, oleh karenanya, tidak banyak pemuda yang turut berpartisipasi dalam gerakan yang dilakukannya.
Perpecahan diantara berbagai kelompok dalam masyarakat Minangkabau, meskipun semakin parah dengan adanya manipulasi Belanda, selalu dapat dijembatani. Kelompok-kelompok di Sumatera Barat pun tiada henti saling menjalin hubungan baik melalui kontak personal maupun keluarga, ekonomi, atau hubungan regional. Kerjasama antarkelompok tersebut kontan membuat cemas Belanda. Oleh karena itu, Belandapun menerapkan berbagai cara untuk memisahkan kerjasama tersebut. alih-alih tercerai berai, kelompok-kelompok yang datang dari berbgai macam aliran tersebut justeru berpadu menentang kebijakkan Belanda. Undang-Undang Pencatatan Perkawinan di Sumatera Barat tahun 1937 merupakan contoh nyata bagaimana seluruh kelmpok di Sumatera Barat bersatu sama-sama bereaksi menentang. Aliran keagamaan, tanpa terkecuali, memprotes bahwa undang-undang tersebut berlawanan dengan hukum Islam sedangkan pemimpin adat menganggapnya tidak sesuai dengan adat istiadat Minangkabau. Oleh karenanya, kemudian dibentul MTKAAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau), sebuah organisasi baru adat yang tidak konservatif tetapi tidak pula kooperatif terhadap penguasa kolonial. Dengan makin berkembangnya organisasi ini, Belanda menganggap organisasi tersebut sebagai organisasi yang terdiri atas para penghulu yang kecewa dan suka membuat masalah., dan kemudian pernyataan lain pun dilontarkan Belanda terhadap organisasi tersebut yakni makin banyak orang-orang yang reputasinya diragukan bergabung menjadi anggotanya.
Isu lai yang mempersatukan berbagai kelompok di Minangkabau adalah rencana Belanda mencabut ordonnsi yang melarang kegiatan misionaris Kristen di kantong-kantong Muslim (Undang-Undang 177 IS). Kekhawatiran akan pencabutan undang-undang tersebut membuat kelompok nasionalis, adat, dan agama, yang terdiri dari berbagai spektrum politik kompak bersatu. Sebuah organisasi didirikan untuk menentang rencana tersebut, para tokohnya mencakup Permi, PSII, Muhammadiyah, MTKAAM, PNI Baru, para pendidik, serta para pengusaha.
Pada tahu 1938, Belanda pun lalu mendirikan Dewan Minangkabau, Minangkabau Raad, yang diketuai langsung oleh Belanda dan Roesad Dt. Perpatih Baringsek sebagai sekretaris. Dewan ini beranggotakan 45 orang, 38 diantaranya adalah orang Indonesia yan dipilih melalui kontrol ketat pemerintah. Tidak lama setelah terbentuk, anggota-anggota Dewan Minangkabau mengusulkan Muhammad Yamin menjadi wakil Sumatera Barat di Volkraad Jakarta.
Pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Belanda, Pengaruh Chatib Sulaiman menyebar luas sambai ke kalangan penguasa, agama, dan pendidikan di Sumatera Barat. Setelah menyerahkan jabatan ketua PNI Baru kepada Leon Salim, ia melakukan kampanye menentang pemerintah Belanda. Pada 17 Desember 1939, secara tegas, Chatib Sulaiman, mengusulkan Indonesia berpalemen. Selain itu, pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Belanda, langkah-langkah Chatib Sulaiman di panggung politik semakin agresif, ia sering memberikan ceramah-ceramah yang menentang rencana Belanda mencabut undang-undang 177 IS yang melarang pennyebaran agama Kristen. Kegiatan lain yang dilakukan Chatib Sulaiman ialah menjalin kerjasama dengan tokoh-tokoh adat, khususnya Dt. Simarajo, ketua MTKAAM, dalam upaya menentang pemberlakuan undang-undang perkawinan yang bertentangan dengan kebiasaan adat.(GA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar