Mengenai Saya

Foto saya
kami adalah mahasiswa pendidikan sejarah.. mahasiswa yang selalu dicerca, yang hanya mempelajari masa yang telah berlalu... namun kami punya keyakinan semua ada ahlinya, dan kami adalah mahasiswa yang mempunyai sedikit kelebihan dalam mempelajari sejarah.

Selasa, 10 Maret 2009

REVOLUSI MEMAKAN ANAK SENDIRI: TRAGEDI AMIR SJARIFFUDIN

Ngaliyan, 19 Desember 1948…
“saya ini mau diapakan?” seorang dari kesebelas orang pesakitan di mata Republik; berpiyama putih biru, celana panjang warna hijau dan membawa buntelan sarung itu bertanya.
“saya tentara, tunduk pada perintah atasan”
Door! Door! Door!
Dalam hitungan detik, tubuh-tubuh itu roboh…Musnah. Hilang dari sejarah.


Tentang Amir Sjarifudin
Penuh liku sebelum akhirnya terhenti pada sebuah kematian yang sama sekali tak diingininya. Itulah gambaran tentang jalan hidup seorang Amir Sjarifudin Harahap. Sebagai manusia, Amir adalah kawan yang baik, suami yang setia, dan bapak yang penyayang. Namun apa hendak dikata, revolusi tampaknya tidak memandang kesemua itu, sebagaimana revolusi juga menutup mata atas jasa ataupun pengabdian juga peluh yang telah ia kucurkan. Mantan menteri pertahanan sekaligus perdana menteri itupun pada akhirnya menjadi sesulih atas revolusi di Republik belia yang ia dirikan. Keterlibatannya dalam peristiwa Madiun 1948 serta pilihannya menandatangani nota Renvilelah kiranya yang mengantarkannya pada liang kubur sunyi Ngalihan. Tereksekusi oleh bangsanya sendiri tanpa pengusutan dan putusan pengadilan. Penghianat republik!
Asrama Kramat 106 kiranya menjadi saksi bagaimana seorang Amir Sjarifudin tumbuh menjadi seorang pemuda kritis di masanya. Bersama Yamin dan Abu Hanifah, Amir giat dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesis Clubgebouw, kelompok diskusi mahasiswa STOVIA angkatan 1928. Di sela-sela kesibukkannya belajar dan berdiskusi, pengagum Robespiere serta pelahap setia Max Kavelaar tersebut juga menghabiskan waktunya dengan menggesek biola kesayangannya. Tak jarang, lakunya ini membuat Yamin marah atau terusik.
Menginjak tahun 1937, Amir memutuskan untuk bergabung dalam Gerindo kemudian berlanjut ke GAPI dimana pada akhirnya ia pun duduk menjadi salah seorang pemimpinnya. Ketika Belanda jatuh dan Jepang mulai merangsek ke Indonesia, Amir, bermodal uang 25 ribu gulden pemberian Van der Plas mendirikan gerakan bawah tanah anti fasisme Jepang. Konfliknya dengan Sjahrir mendorong Amir kemudian mendirikan Partai Sosialis Baru pada tanggal 13 Februari 1948. Bersama Tan Leng Djie, Abdul Madjid, dan kelompok garis keras penentang kebijakan Hatta, Amir yang senantiasa mengantongi Injil di saku bajunya kemudian mengubah partai tersebut menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berhaluan kiri.

Akhir Seorang Amir Sjarifudin
“Perjuangan yang kami adakan waktu ini hanya buat memberi koreksi kepada revolusi-revolusi kita. Jadi dasarnya tidak berubah sama sekali. Revolusi ini tidak berubah dari corak nasionalismenya, yang sebenarnya adalah revolusi merah putih, dan lagu kebangsaan kami tetap Indonesia Raya…”

Nada frustasi dan bingung nampak jelas dari pidato akhir Amir yang mengudara tanggal 23 Septemper 1948. Bagaimana tidak? Presiden Soekarno, tanggal 15 September 1948 telah menunjuk Kolonel Gatot Soebroto untuk melibas gerakan Madiun yang ia pimpin sekaligus menetapkannya sebagai seorang penghianat atas republik yang baru genap berusia tiga tahun. Pada akhirnya, ia pun teksekusi di Ngaliyan, desa kecil di Solo, Jawa Tengah yang terpaut berpuluh kilometer dari ibukota Republik Indonesia. Sungguh bukan tanda tangannya di atas nota Renville ataupun keterlibtannya dalam Peristiwa Madiun yang menjadi kereta utama pengiring kematiannya. Kesalahan terbesar yang ia lakukan; pengiring utama kematiannya ialah mengira rakyat benci terhadap pemerintahan Soekarno Hatta. Amir kalah! Hilang dalam sejarah. (Galuh Ambar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar